Sunday, September 30, 2012

Wanita Sempurna, Dialah Ibu

Tadinya hanya ingin melepas lelah setelah seharian mengitari wilayah "shoping centre" dari mulai Kowloon Tong side, hingga City One-Sha Tin, tempat dimana aku bekerja selama ini. Kulonjorkan kaki, sambil menikmati makanan yang ku beli, tempatnya lumayan asik meski juga berisik oleh warga Hong Kong yang sibuk lalu-lalang menghabiskan akhir pekannya.

"Can i sit here?"ujar sepasang mata ramah perempuan paruh baya, ternyata dia pekerja migran dari Pilipina(PL), sebut saja namanya Conie. Aku mempersilakannya duduk, karena memang itu tempat umum. Siapapun boleh singgah.

Karena jauh dari saudara, aku selalu menganggap orang yang kutemui itu saudaraku. Berbagi makanan yang ku miliki, dan ternyata Conie mau mennbantuku menyikat makanan itu, sambil berbincang banyak hal. Ternyata orang PL cukup terbuka, atau mungkin aku yang suka bertanya. Maklum, itu sudah kebiasaanku dulu saat jadi relawan reporter, biasa tanya orang, walau kadang hal yang tak terlalu penting.

Kami mulai berbagi pengalaman, meskipun usianya terpaut jauh denganku, Conie enak untuk diajak cerita. Banyak hal yang ia kisahkan, misalnya awal bekerja di HK, ia tak tahu bagaimana cara membuat stim telur. Harusnya kan di kocok pelan dan ditambah air, bukan dikocok cepat seperti yang ia lakukan, dan hasilnya pas ketika si bos pulang, stim telur buatan Conie pun membumbung, sementara mangkoknya kosong tak bersisi. Lucu, tapi sekaligus hiburan. Saat kita menghadapi tekanan tugas kerja, harus bisa menyikapi dengan"open mind" sehingga biarpun salah, dimarahin, tapi hati tetap enteng.

Conie juga menceritakan kalau di PL, calon pekerja migran tidak tinggal di PT(penampungan) tapi langsung berhubungan dengan agensi, belajar bahasa pun tidak diharuskan. Bahkan menurut cerita dia, hanya tiga hari saja belajar bahasa Kantonis. Beda dengan pekerja dari Indonesia, selain bisa berbulan-bulan di penampungan, kami juga dipaksa untuk PKL(kerja di rumah yang ditentukan pihak PT, dan gajinya pun untuk mereka) bahkan banyak juga yang menunggu job kerja hingga setahun lebih di PT. Mungkin pertimbangannya, pekerja PL itu pandai bahasa Inggris, jelas. Karena pendidikan minimal mereka itu katanya sarjana.

Bicara soal pendidikan, Conie bilang pemerintah PL membiayai rakyatnya hingga SMA, itu bagi yang membutuhkan, tapi jika warganya merasa mampu, mereka bisa masuk sekolah lain, bukan sekolah dari pemerintah. Hal ini juga bisa berlanjut hingga jenjang sarjana, hanya saja untuk jenjang kuliah pemerintah PL memberikan syarat, nilai si pelajar harus bagus. Wah, kalah dong negaraku. Boro-boro gratis, malah dana pendidikan saja rajin dirampok(ini istilah baru untuk kata korupsi yang kubaca di internet). Aku hanya menelan ludah, teringat dua tahun lalu saat berjuang melanjutkan sekolah SMA kesetaraan di HK, sekaligus sebagai pekerja yang hanya bisa tidur jika jam dua dini hari. Saking kepengennya aku sekolah.

Makanan yang kusajikan mulai habis, tapi tidak dengan obrolan kami. Aku banyak belajar dari teman baruku ini, bahkan soal kehamilan. Aku duduk bergeser mendekat, dan menyikapi ceritanya dengan serius.

"Iya betul Anita, menikah itu harus. Keputusanmu itu tepat, karena wanita bisa sempurna saat ia bisa menjadi ibu. Percayalah" ujarnya sesaat setelah mendengar kisahku yang akan segera pulang kampung, untuk menikah. Dan tidak memperbarui kontrak kerjaku lagi.

Hmmm...meski banyak alasan yang membuatku memutuskan untuk menikah, tapi mendengar kisah Conie aku jadi semakin mantap untuk menjadi seorang ibu, ibu unntuk anak-anakku.

Banyak kisah tentang bagaimana indahnya saat orang tua dianugrahi buah hati. Ibu hamil kemudian melahirkan, dan kesemuanya tidaklah sama. Ibarat warna pelangi, namun itu adalah keindahan dan anugrah terbesar yang membuat wanita menjadi mahluk mulia dan sempurna, Ibu.

Conie memulai ceritanya dengan nada suara agak berat. Mungkin terharu. Saat usia pernikahannya telah mencapai 7 tahun, barulah Conie hamil. Dia tidak bercerita banyak tentang rintangan sebelum anugrah itu datang padanya. Pastinya banyak keributan kecil antara dia dan suami yang ingin memiliki anak. Sehingga saat ia memberitahukan berita kehamilannya, sang suami tampak tidak senang, karena menganggap Conie hanya membual seperti biasanya.

Sebagai keluarga sederhana, Conie berharap bisa melahirkan nornal. Tapi karena usianya sudah tak lagi muda, dokter menyarankan untuk operasi sesar"caesarean".

"Kamu masih muda, bisa cepat punya anak, tapi buat aku, anak itu anugrah dari Tuhan" begitu kira-kira Conie berkisah, tentang perasaan senangnya setelah penantian panjang selama 7 tahun. Memang saat usia sudah tak muda, kondisi kesehatan dan kesuburan wanita sangat berpengaruh pada kehamilan.

"Aku tidak merasakan sakit, saat air ketuban pecah dan mengalir di kakiku. Kebetulan hanya ada sepupu di rumah saat itu, dan dia tidak tahu harus bagaimana membantuku yang sibuk mondar-mandir ke toilet, perasaanku ingin buang air kecil terus. Lalu suamiku pulang, dan membawaku ke rumah sakit. Di sana aku diperiksa, kata dokter baru bukaan dua, dan hingga tujuh jam masih juga demikian, dari bergabai pertimbangan, mereka memutuskan agar aku tidak melahirkan secara normal" Conie bercerita sambil sesekali menarik nafas panjang, seolah terkenang masa-masa sulit yang pernah ia lalui.

Bayi laki-laki sudah berada di pangkuan Conie, putra tercinta titipan Tuhan yang harus ia besarkan dengan kasih sayang seorang ibu. Tapi perjuangan belum selesai, rasa sakit di bagian perut yang dijahit menurut Conie sangat menyiksa. Hingga buat batuk saja sakit setengah mati. Beruntung katanya ia dirawat bukan di ruang VIP, sehingga AC-nya tidak begitu dingin, jika hawa dingin maka bekas jahitan akan terasa lebih sakit menurutnya.

"Setelah punya anak, rasanya hidup ini jauh berbeda, berarti. Sangat berarti. Kerja atau  punya apapun, lebih ingat untuk anak" itu perkataan Conie yang akan aku kenang, meski kini baru menjabat sebagai anak dari ibuku, hehehehe...ternyata banyak liku dan cerita perjuangan dari seorang ibu yang melahirkan. Tak peduli proses normal atau tidak, nyawa mereka taruhannya. Pantas saja jika dalam agamaku, Islam. Derajat ibu, tiga tingkat dibanding ayah. "Ibumu..ibumu..ibumu, lalu ayahmu" demikian sabda Rasulullah Saw.

Semoga aku, kamu dan seluruh kaum wanita, bisa menjadi tauladan yang baik, wanita yang sempurna, dialah Ibu.

Sha Tin, 30 September 2012.