Penampilan Preman Hati Seterang Rembulan
Tidak ada hal bisa selesai dengan menangis, tapi menangis buatku bisa menjadi ekspresi instan yang membuat perasaan hati lega saat ada hal meresahkan terjadi. Entah mungkin karena aku perempuan.
Tidak ada hal bisa selesai dengan menangis, tapi menangis buatku bisa menjadi ekspresi instan yang membuat perasaan hati lega saat ada hal meresahkan terjadi. Entah mungkin karena aku perempuan.
Desaku dibalut sinar mentari cerah, suasana lebaran baru
saja berlalu. Rona-rona bahagia masih melekat erat di wajahku. Ada sesuatu yang
beda tahun ini. Tuhan begitu baik membalas semua kesabaranku setelah
bertahun-tahun lebaran di negara orang, akhirnya kini bisa berkumpul dengan
keluarga lagi. Alhamdulillah….
Jodoh, mati dan rejeki sudah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa.
Sebagai hamba, aku dan dia hanya bisa berusaha ikhtiar. Kami sepakat menikah
setelah berkenalan setahun yang lalu. Waktu terasa berlalu begitu cepatnya,
rasanya baru saja kemarin kami kenal. Mungkin banyak misi hidup yang searah
sehingga ada rasa ringan menjalani semua, meski itu berlangsung jarak jauh.
Kami belum pernah bertemu.
Dua minggu berada di rumah, rasanya seperti di surga. Setiap
hari selalu menunggu kehadiran kekasihku itu. Meski masih satu kota, namun
butuh sekitar 45 menit mengendarai motor ke rumahku. Dia yang hanya punya waktu
cuti kerja satu minggu, seperti tak kenal lelah bertandang menemuiku, ah…
rasanya”so sweet”
Hari pertama bertemu, seperti di film misteri gitu, karena meskipun sudah sering komunikasi tapi beda rasanya jika bertemu langsung. Aku menyambutnya senatural mungkin, tapi tetap tidak bisa menyembunyikan raut grogi, bingung dan.. campur aduk deh!
Mungkin benar, aku bukan tipe penyabar. Waktu sudah menunjukan jam 5 sore, tapi aku memaksa agar dia mengajakku ke rumah orang tuanya. Jadi acara buka puasa berdua dadakan, tepatnya di toko bakso kota Cirebon menuju Palimanan. Masih terasa asing terasa berada diantara keluarganya, namanya juga baru bertemu. Dalam hatiku hanya bisa berdo’a semoga ada berkah dari silaturahmi ini, karena saat berbuka tadi dia berkata belum memutuskan arah hubungan kami, apakah diteruskan atau tidak. Ada rasa yang aneh dalam benakku, yang intinya aku tak ambisius untuk suatu hal, hanya meminta yang terbaik dari Tuhan, bagi kami berdua. So…apa yang dia katakana sama sekali tak membebaniku. Karena aku tahu, rasa cinta, saling menyayangi sejatinya diturunkan Allah SWT pada hati kita yang ikhlas.
Hari pertama bertemu, seperti di film misteri gitu, karena meskipun sudah sering komunikasi tapi beda rasanya jika bertemu langsung. Aku menyambutnya senatural mungkin, tapi tetap tidak bisa menyembunyikan raut grogi, bingung dan.. campur aduk deh!
Mungkin benar, aku bukan tipe penyabar. Waktu sudah menunjukan jam 5 sore, tapi aku memaksa agar dia mengajakku ke rumah orang tuanya. Jadi acara buka puasa berdua dadakan, tepatnya di toko bakso kota Cirebon menuju Palimanan. Masih terasa asing terasa berada diantara keluarganya, namanya juga baru bertemu. Dalam hatiku hanya bisa berdo’a semoga ada berkah dari silaturahmi ini, karena saat berbuka tadi dia berkata belum memutuskan arah hubungan kami, apakah diteruskan atau tidak. Ada rasa yang aneh dalam benakku, yang intinya aku tak ambisius untuk suatu hal, hanya meminta yang terbaik dari Tuhan, bagi kami berdua. So…apa yang dia katakana sama sekali tak membebaniku. Karena aku tahu, rasa cinta, saling menyayangi sejatinya diturunkan Allah SWT pada hati kita yang ikhlas.
Pertemuan pertama yang singkat dan berkesan, akhirnya
melahirkan keputusan positif, satu hari setelah lebaran aku resmi di lamar.
Hari baik akad nikah pun sudah ditentukan. Senja itu rasanya terlalu indah
untuk dilupakan, sejarah perubahan hidupku. Menikah? Wow…begitulah jika Tuhan
sudah berkehendak, semua terasa mudah.
Niat bulat, tekad kuat, semua tanpa arti jika tanpa pembuktian.
Itu juga yang terjadi pada kami berdua, kata sepakat bukan berarti tak lepas
dari ujian. Secara pribadi, aku bukan tipe yang suka menuntut. Tapi adat
masyarakat memang tak mudah untuk dieliminasi, hal ini menimbulkan sedikit
konflik pemahaman antara pihak keluargaku dan dia. Mendung menyelimuti jiwaku,
seharian hanya bisa menangis di kamar. Ikhlas semuanya kandas? Itu terlalu
berat, memaksa kehendak Tuhan? Itu tak mungkin, akhirnya dia menunjukan komitmennya
untuk tetap maju, itulah pria sejati tak akan mundur hanya karena duri
penghalang. Aku bangga dan terharu.
Sekitar jam 10 pagi kesesokan harinya, dia datang ke rumah
untuk mengajakku membeli cincin pernikahan. Alasannya takut tidak pas jika
tidak pilih sendiri. Adiku( Neng) dan ponakanku( Liany) juga ikut mengantar,
katanya ingin jalan-jalan setelah lebaran di rumah terus. Kami berempat naik
motor menuju Cirebon kota.
Liany Nampak lihai membonceng adiku, laju motor yang
dikendarainya berada di depan motor kekasihku. Semua Nampak baik-baik saja.
Tujuan pertama yaitu mall PGC, toko mas “Roma” menurut ibuku produknya bagus.
Tapi setelah kami sampai ke sana, stok barang hanya sedikit dan kurang bagus.
Dengan saran dari adikku, kami putar arah ke kanan menuju jalan Karang Getas,
di sana banyak toko mas berjejer. Di toko ke dua, aku dapatkan cincin yang
sesuai. Liany dan Neng ingin main di mall PGC, jadi kami pisah. Aku dan
kekasihku pulang, karena dia ingin ikut sholat Jum’at. Aku setuju saja, meski
sedikit khawatir dengan situasi jalan yang terlalu padat oleh arus balik mudik.
Cuaca juga sangat panas.
Satu belokan, pisah dengan adik dan ponakkanku. Hanya aku
dan dia, jalan banyak yang diblokir kami jadi muter-muter mencari arah pulang
ke Keraton-Celancang. Butuh waktu cukup lama, tapi akhirnya lolos dan dia memutuskan berhenti di depan masjid perumahan Puri Celancang untuk sholat
Jum’at. Lalu kami kembali ke rumah dengan selamat walaupun capek.
Baru saja melepas helm, mataku belum sempurna melihat
sekitar. Tapi Nampak jelas di pelupuk mataku, wajah adikku Neng yang bersimbah
air mata. Suara tangis juga terdengar dari kamar Liany. Aduh ada apa ini? Tak
kuhiraukan kekasihku yang masih parkir motornya di tempat yang teduh.
Dengan perasaan tak menentu aku masuk rumah, ku peluk adikku
dan menatap ibuku penuh Tanya.
“Motornya ketabrak orang mudik, rem rusak jadi jatuh berdua.
Alhamdulillah selamat, tapi motornya Liany rusak”ujar ibuku seakan tahu apa
yang ingin ku tanyakan.
Kemudian cerita mengalir dari mulut adikku lengkap dengan
isak tangisnya, sambil memegangi kakinya yang bengkak. Sesaat setelah kami
berpisah, mereka berdua khawatir aku dan kekasihku tersesat karena jalan
diblokir oleh arus mudik, akhirnya mereka memutuskan untuk menyusul kami, tapi
tidak bertemu dan terhimpit padatnya arus balik mudik. Salah satu motor menyalib
dan jaket pengendarnya nyangkut ke rem motor Liany, saat arus jalan lancar dan
motor itu maju, otomatis motor Liany jatuh tepat di tubuh adikku dan ponakanku
itu. Sementara di belakang sana, antrean bus dan kendaraan lain seakan ingin
menggilas mereka.
Tak bisa aku bayangkan, betapa sakit dan syoknya kedua
saudaraku itu. Dengan tubuh kurusnya Neng menggotong Liany ke tepi jalan, tapi
dia tidak bisa memindahkan motor Liany yang malang di tengan jalan.
Kota ini seperti mati, mati dari tenggangrasa penduduknya.
Semua cu’ek sibuk dengan urusannya masing-masing. Beruntung ada satu pemuda,
yang menurut cerita adikku berpenampilan seperti seorang preman. Kumisnya
tebal, jenggotnya lebat menyeramkan, bertato dan mengenakan aksesoris kalung
khas berandalan. Siapa sangka dialah pahlawan yang sudi menolong adik dan ponakanku.
Sementara orang lain tidak ada yang peduli, bahkan jika mobil dan bus-bus
menggilas motor itu dan saudaraku.
Meski dengan muka syok, adiku masih berkomentar dipolomatis”ini
kenangan menyeramkan, sekaligus perjuangan nganter beli cincin nikah Ang
Ita(demikian aku dipanggil), tak terlupakan”ujarnya.
Aku tak bisa banyak berkomentar, hatiku bergetar dan punya
ilmu baru, jangan menilai orang dari penampilannya, tapi tingkah lakunya.
Terimaksih ya Allah, telah kau utus preman berhati rembulan itu menolong saudaraku.
Cirebon, 26 Agustus 2012.
Cirebon, 26 Agustus 2012.
No comments:
Post a Comment