Oleh Anita Sri Rahayu
Dompet Dhuafa (DD) lebih dari sekadar lembaga zakat, tapi juga lembaga pemberdayaan dan pengembangan kualitas umat.
Demikian pernah dituturkan tutor mata pelajaran ekonomi saya di SMA-Kesetaraan HK. Sang tutor saat itu menjabat sebagai General Manager Dompet Dhuafa Hong Kong (DDHK), Ustadz Abdul Ghofur, SE. Ini adalah interaksi pertama saya dengan “DD”, begitu nama akrab lembaga ini kami (BMI Hong Kong) sapa.
Saat itu saya tidak begitu tertarik ikut aktif di kegiatan DDHK –selanjutnya saya sebut “DD” saja. Bukan karena tanpa alasan, selain sibuk sekolah, saya juga belajar “computer office” di YMCA HK. Tapi ada alasan yang lebih utama, yang saya kira masih juga melekat pada kawan BMI lain saat ini yang belum kenal jauh dengan DD, saya waktu itu merasa belum “alim” (dan sampai saat ini juga belum sih…).
Semoga tulisan saya ini bisa menjadi jendela pembuka bagi kawan lain. DD tidak kaku dan otoriter. Buktinya, kreativitas saya yang masih belum “alim” ini diterima. Karena tidak semua ustadz itu harus bersorban dan berjenggot panjang bukan? Demikian juga dakwah, bisa melalui apa saja, termasuk media internet yang saat ini sudah mengglobal hingga ke sawah-sawah tempat bapak dan ibu kita “macul” atau “ngangon” kambing!
TAHUN 2010 saya bekerja di daerah Causeway Bay dan masih menjadi siswa SMA Kesetaraan (Global Indonesia Training Center/GITC HK) dan siswa Young Man Cristian Assosiation (YMCA HK).
Singkat cerita, saya mendengar info’ dari kawan lain bahwa DD akan mengadakan training tentang Penyiar dan Reporter Radio. Entah ini takdir atau kebetulan saja, saya tertarik ingin menjadi seperti Indie Barens yang “cerewet” tapi smart itu.
Meskipun jadwal kegiatan saya jelas tidak ada senggang, karena pagi harus mengikuti kelas YMCA TST yang mengharuskan 100% kehadiran sebagai syarat kelulusan. Untung jadwal GITC ‘break’ karena persiapan ujian kalau ‘gak salah.
Pagi yang cerah, tepatnya di ruang Hong Kong Art Centre itulah tempat sakral buat saya dengan dunia kepenulisan. DD memilih tempat ini sebagai sesi pertama pertemuan dengan sang trainer yang masih misteri bentuk wajah dan karakternya buat saya.
Setelah pembukaan oleh Ust. Ghofur (GM DDHK saat itu) via telepon karena ia sedang dalam perjalanan ke Cina, panitia menyampaikan agar para peserta menyiapkan buku untuk menulis materi yang akan disampaikan.
Job kerja saya waktu itu berat (baca tulisan saya sebelumnya: “Janji Seorang BMI”), hasilnya saya selalu bangun siang kalau libur, ngantuk. Tapi saya punya teman satu geng (Tati, Ari, Teh Cacih ) yang kebetulan sudah sampai ke lokasi lebih pagi.
“Teh… punten, pang milarikeun tempat calik nya (Teh.. tolong carikan tempat duduk ya),” pintaku pada teh Cacih, kawan “satu suku” (Sunda) yang kini sudah pulang dan menikah.
“Siap… Bu Lurah.. tos aya iyeu caket Tati sareng eteh da, enggal geura dongkap (Siap Bu Lurah.. udah ada kok ini dekat Tati sama saya, cepat datang ya),” jawabnya.
Bu Lurah, demikian saya biasa dipanggil kawan dekat, bukan tanpa story. Itu julukan yang saya dapat dari Pak Hayat, tutor kami saat debat masalah hukum dan kenegaraan. Intinya saya ingin jadi lurah kalau “pulkam”, hehehe…
Saat saya sampai, ruangan memang sudah penuh. Ujung mata ini melihat makhluk Tuhan yang lain dari puluhan makhluk yang telah hadir. Dia asing dan suka senyum sendiri. Duduk di pojok ruangan dengan panitia, mengenakan kaos putih pendek, berkerah lagi.
Tapi dari logat dia bicara, saya menarik kesimpulan dia orang Sunda, sama dengan saya. Kini saya sudah duduk manis, di bangku barisan kedua, hari ini berhasil mencuri waktu dari kelas YMCA pagi.
Selain cerewet, saya ini nakal. Yang penting absen di panitia DD tujuan saya agar tetap dapat kehadiran 4 kali, seperti syarat yang mereka ajukan untuk peserta yang ingin mendapat sertifikat di akhir masa training.
Training dimulai. Seperti yang sudah saya duga, makhluk asing tadi yang saya lihat di pojok ruangan adalah orang Sunda. Ternyata dia yang akan menjadi “trainer” kami. Namanya Asep Syamsul M. Romli alias ASM.Romli alias Kang Romel Tea, seorang penyiar radio di Bandung, juga trainer, jurnalis, dan dosen yang “berjiwa perpaduan antara Gatot Koco dan Cepot”. Intinya, menurut saya, dia itu bijaksana dan lucu.
Tapi pertemuan pertama kami tidak manis untuk dikenang, tapi terlalu manis untuk dibuang. Setelah penyampaian materi siaran, termasuk latihan teknik pernafasan, membuat ‘script’ siaran, membuka acara siaran, akhirnya tibalah pada “debat mulut” antara saya dengannya.
Satu per satu peserta diminta praktik menjadi penyiar –membuka sesi siaran dengan membaca teks yang telah kami buat. Tepatnya, saat kawan satu geng saya, Teh Cacih, membaca teks tersebut dengan nada Sunda yang kental banget, Kang Romel tertawa dan memberikan pengarahan bagaimana agar menjadi penyiar yang baik. Teh Cacih hanya jawab “iya-iya, muhun-muhun” saja. Kemudian saya berusaha membelanya.
“Tapi Kang, setiap manusia ‘kan punya karakter yang berbeda. Misalnya teman saya ini, cocok untuk membawakan acara yang sifatnya tidak resmi. ‘Kan tidak semua siaran itu formil, misal saat membawakan acara berita kematian, tidak mungkin kita harus lucu, begitupun saat membawakan berita bahagia kita bermuka sedih. Kenapa karakter kita yang jadi masalah?“ tanpa titik-koma saya ajukan debat pertama. Setelah itu Kang Romel “sinis” saat saya angkat tangan untuk bertanya. Takut, suka tanya yang sulit dan aneh katanya, hihihi….
“Bukan begitu, tapi kita harus bisa berusaha menguasai semua teknik siaran,” ujarnya dilanjutkan dengan penjelasan yang panjang-lebar.
HATI saya mulai menikmati dengan santai. Sepertinya menjadi penyiar itu asyik dan menjadi reporter itu menantang. Kami sempat juga menyimak contoh reportase langsung yang disampaikan rekan dari DD yang sedang memandu tour ke Guang Zhou Cina, bersama Ustadz AG.
Sempat dibuat regu. Nama regu saya yaitu “Kejora” (geng Anita, Tati, Ari, dan Teh Cacih). Narasumber pertama kami yaitu Mas Bustomi LSO, tapi tidak sukses memberikan laporan via telepon, mungkin sistem streaming RPI yang masih belum maksimal.
Saya harus ikuti jadwal YMCA juga. Jadi jika pagi ikut traning, siang saya bolos atau sebaliknya. Hingga dipertemuan training yang terakhir, tepatnya di studio Radio Perantau Indonesia (RPI) di King’s Road, Tin Hau, HK. Saya tetap harus masuk kelas YMCA pagi, tak bisa bolos, padahal saya ingin sekali punya waktu maksimal mengikuti training.
Tapi kembali ke sifat “nakal” saya, yaitu yang penting dapat absen. Akhirnya saya sempatkan pergi ke toko souvenir dekat Star Ferry TST, untuk membelikan kenangan buat sang trainer yang sering saya buat jengkel itu. Cuma buku kamus kecil bahasa Kantonis, sebagai permohonan maaf, hehehe…(buka kartu deh!).
Saya langsung meluncur di kepadatan MTR TST Tin Hau. Training sudah masuk sesi kedua, hampir saja absen saya tidak diterima. Tapi setelah saya jelaskan kelas YMCA itu harus, dan tidak boleh bolos, ditambah baca basmalah 21 kali (Itu tips dari ibu saya agar hati orang yang kita temui luluh), akhirnya absen kehadiran keempat bisa saya dapat.
Di akhir training ini saya sama sekali tidak berharap lebih karena merasa tidak maksimal, bahkan yang mendapat penghargaan atau kenang-kenangan dari panitia itu bukan saya, tapi Dewi dan Asiyah Queene. Itu nama pena mereka. Ilmu jurnalisme saya masih nol besar, sebesar harapan saya untuk bisa menjadi seperti Indie Barens.
SETELAH kepulangan Kang Romel, bukan ke rahmatullah loh, tapi ke tanah air, kami para mantan peserta yang sudah mengantongi sertifikat tidak bisa praktik di RPI, karena kinerja RPI tidak berlanjut tampaknya.
Lalu bagaimana dong ceritanya saya bisa jadi reporter website DDHK News sekarang? Jawabannya, karena aksi nyoba kirim laporan yang di awal masih kena edit 50% oleh Kang Romel.
Tapi jika berita itu sudah di-publish, saya akan bersorak sambil cubit kawan yang sedang jalan bareng, berteriak histeris: “Hey.. lihat.. lihaaat laporan saya ini dimuat!” Terus dan terus begitu, hingga hari yang bersejarah dalam hidup saya itu datang. Ciee…..!
Trainer saya ini mungkin jengkel berkelanjutan, karena bukan muridnya yang baik, justru saya yang nakal ini yang tetap berusaha untuk mengerti, mengenal, dan mempelajari lebih jauh akan ilmu yang pernah ia sampaikan.
Mungkin ini faktor ketidakmaksimalan dari diri saya dulu. Ibaratnya orang pintar belum tentu beriman dan orang beriman belum tentu pintar. Nilai iman dan kebaikan hanya Allah Swt yang tahu, seperti itu juga takdir.
Hari itu saya mendapat surat via inbox Facebookdan e-mail bahwa saya dan teman satu geng (Tati) telah diangkat menjadi reporter DDHK News, dengan perjanjian sebagai relawan (volunteer), dibekali rumus reportase dan Press Card (Kartu Pers).
Sungguh saya senang bukan kepalang. Langsung telepon ibu di rumah, bahwa saya adalah wartawan, dengan pede-nya.Pokonya, status kungyan sudah saya ‘cover’ menjadi wartawan! Ini mimpi, tapi mimpi yang menjadi pintu ke dunia lain yang lebih bermanfaat. Semoga!
Berbekal Kartu Pers itu, saya menjalankan tugas jika libur. Banyak sekali peristiwa yang membuat saya lebih mengerti tentang kepekaan sosial, serta berkah ilmu yang bisa saya ambil setiap meliput acara atau kejadian. Meskipun kendala dan tantangan banyak saya rasakan, karena saya masih orang baru.
“Mbak dari mana ya? Oh apa itu web DDHK News mba ..?” Itu pertanyaan mayoritas narasumber saya dulu.
“Dari web DDHK News..ya Mbak, Mbak Anita ‘kan? Monggo pinarak Mbak..” Itu sambutan mereka sekarang. Alhamdulliah, sudah banyak yang kenal.
Perjuangan memang butuh waktu dan jangan sedih jika kita tidak dianggap berpotensi, karena waktu dan tindakan kita yang akan mengubah persepsi orang tersebut. Yakinlah!
ADA tiga pengalaman paling berkesan selama menjadi reporter web DD yang saya akan ingat hingga di kemudian hari, yaitu saat meliput kawan BMI yang sakit kanker, wawancara di Masjid TST, dan meliput Hong Kong Book Fair 2011.
Saat membuat laporan dan wawancara dengan Mbak yang kebetulan dapat biaya bantuan dari DD dalam pengobatan kankernya, saya nangis ingat masa lalu. Dulu saya sempat terkena penyakit itu. Betapa saya merasa Allah itu jahat sekali, sudah saya miskin, kenapa harus kena penyakit itu. Padahal, cita-cita saya tinggi ingin jadi guru atau dokter, bukan pasien.
Setidaknya saya ingin sehat, kerja, dan mengubah kehidupan orangtua saya. Tapi, Allah itu Mahatahu jalan mana yang terbaik untuk hamba-Nya, agar jadi insan berkualitas.
Allah Swt menujukan peta (Al-Qur’an) untuk menuju ke tempat yang lebih baik yaitu surga. Jalanya lewat kesabaran, kemudian hidayah dan keimanan serta ketakwaan dan mencintai Allah serta Rasul-nya lebih dari apa pun.
Semua yang kita rasakan, semua yang kita temui di dunia ini, hanya perantara-Nya. Bisa lewat orang yang kita sayangi, hal yang kita sukai, atau peristiwa yang menyakitkan. Dengan mengembalikan semua itu pada Allah Swt, maka kita sudah berusaha menjadi hamba yang baik. Jangan berhenti untuk berusaha baik, sebelum satu dari kaki kita masuk ke pintu surga (itu sedikit pesan moral yang masih saya ingat dari Pak Ghofur).
Ketika saya masuk ke ruang shelter (Istoqomah/AIMS-Jordan) sambil membawa oleh-oleh alakadarnya (kata ibu saya, kalau menjenguk orang sakit harus bawa makanan, mitosnya biar cepat sembuh, dulu saya tidak percaya, tapi dipraktikkan juga akhirnya), ibu dua anak yang sudah janda itu duduk lemas, dibantu panitia shelter duduk di ranjang kecil, dengan wajah pucat pasi dia melemparkan senyum sederhana.
Saya sudah tidak tahan merasakan mata yang mulai mendidih, ingin mengeluarkan cairan hangatnya airmata. Padahal, belum tahu kisah dia seperti apa. Dia mulai bercerita tentang awal mula terkena musibah sakit itu, saat dia baru habis potongan gaji. Ah, sedih saja pokoknya.
Hanya beda posisi, dulu saya sedih karena belum bisa senangkan orangtua, dan dia sedih justru karena kedua anaknya. Naluri kami bersambut, lalu dia matikan semua kalimat yang dari tadi lancar mengalir, mulutnya terkunci rapat sekali. Dengan gerakan refleks saya peluk dia, lalu kami menangis. Saya coba berikan motivasi semampunya, pasti ada hikmah dari semua cobaan hidup.
“Pasti anak ibu nanti jadi orang hebat, ibu jangan putus asa ya… tetap dekatkan diri pada Allah Swt, saya do’akan ibu lekas sembuh, do’a saya ini tulus banget,” ujarku, sambil mempererat pelukan. Dia menangis semakin keras, seakan saya ini tiang yang kuat untuk bersandar, setidaknya pada saat itu mungkin.
Seusai menjenguk, saya semakin sadar harus banyak bersyukur. Allah memberikan kemudahan rezeki di HK ini bagi sebagian saja, masih ada kawan BMI yang berada dalam ujian. Jika kita sakit di rumah, setidaknya ada keluarga yang mengurus penuh kasih sayang. Tapi di HK, hanya Allah pelindung mereka. Kata Ustadz Liong Man, ”Bersyukur Mbak-Mbak yang kerja, meski majikan suka ceramah, tetap sabar dan semangat, lihat kawan kita di shelter yang diuji lebih berat, gunakan waktu libur untuk hal yang baik!”
Batin saya masih terbawa keharuan. Sambil menelpon kakak perempuan yang biasa saya panggil a-ang (Mbak/Bahasa Cirebon), saya nangis lagi, sampai orang dalam MTR melirik heran. Meski kakak saya ini jutek dan galak, tapi tak urung juga khawatir mendengar suara isak saya waktu itu.
“Kunaon maneh ogin, kunaon ceurik? (kenapa kamu cengeng, kenapa nangis),” ujarnya. “Dasar, katanya wartawan.. maenya ceurik (masa nangis),” lanjutnya, setelah saya jelaskan peristiwa tadi.
Sejak saat itu, jika saya meliput ke Masjid TST, selalu ada yang peluk saya, entah itu panitia shelter yang melihat atau kenal saya waktu jenguk, atau mereka perwakilan Tuhan atas pelukan tulus yang saya berikan. Yang jelas bukan Teletubies!
Pengalaman kedua, saat wawancara dengan pengurus Masjid Tsim Sha Tsui. Rencananya, saya ingin menulis artikel tentang ’history’ masjid tersebut, 70% bahan tulisan sudah saya susun lewat observasi sendiri ke lokasi. Selebihnya tinggal wawancara pengurus masjid.
Kebetulan ada aktivis yang juga kawan BMI, Mbak Siti namanya, yang sudah kenal dengan manajer masjid yang akrab disapa “Brother Haq”. Dalam hal ini saya diuji dengan kesabaran, bahwa tidak semua yang kita inginkan bisa kita lakukan.
Brother Haq baru masuk kantor sekitar jam 11 siang. Setelah menunggu lama, Mbak Siti mengantarkan saya ke kantor dia yang ada di lantai dasar masjid. Rupanya bukan cuma saya yang berkepentingan, ada tiga orang berada di dalam. Satu warga Prancis yang sedang konsul tentang Al-Qur’an, kedua orang HK yang nampaknya ingin membeli kaligrafi, ketiga cowok Pakistan, dan keempat saya.
Setelah satu per satu selesai, kini giliran cowok Pakistan itu, nampaknya dia “disidang” oleh Brother Haq, karena sudah tidur di masjid tanpa izin, mungkin dia bukan relawan masjid atau entah apa masalahnya.
“Ada brother yang berjenggot itu bilang saya boleh tidur di sini,” ujar si cowok Pakistan.
“Semua brother di sini itu berjenggot, termasuk aku dan kamu bukan? Siapa yang member izin kamu tidur di sini?“ ujar Brother Haq.
“Ya.. brother berjenggot itu…” jawab si cowok Pakistan tak mau kalah, dan ini berlanjut hingga waktu sholat dzuhur tiba. Alhasil, saya tidak punya banyak waktu wawancara karena konflik perdebatan “Mr. Jenggot” itu.
Selain itu, nampaknya pengurus masjid memperketat peraturan, meskipun saya sudah menjelaskan dari website Muslim BMI, dia bilang, saya sejawat dengan reporter ‘South China Morning Post’ yang datang dua hari sebelumnya. Artinya, saya harus juga punya surat izin dari kantor DD untuk wawancara. Mungkin karena pandangan Islam di mata dunia terusak oleh isu terorisme, termasuk di Cina. Oleh sebab itu, sebagai pengurus, dia harus hati-hati .Entahlah, yang jelas hari itu saya lapar dan gatot (gagal total).
Kejadian berikutnya, yaitu saat ketidaksengajaan saya meliput HK Book Fair 2011. Beserta keluarga si bos, saya pergi ke Wan Chai HK Exibition and Convention Center, lokasi HK-Book Fair itu digelar.
Kata si bos, itu hari kedua terakhir pameran. Saya “cuek” saja, merasa tidak minat beli. Mereka mengizinkan saya berkeliling, tapi harus bertemu di tempat saat kami berpisah tadi.
Singkatnya, saya melihat gambar kaligrafi dan buku dengan corak Islam setelah mengitari hampir satu ruangan. Sambil diliputi rasa penasaran, saya masuk dan bertanya pada pelayan yang ternyata para relawan ICA HK (Islam Community Assosiation) dan SIT HK (Serving Islam Team). Mereka ramah sekali. “Naluri wartawan” saya menuntut untuk bertanya lebih jauh. Karena merasa bukan ketua koordinator, pelayan berjilbab tadi (wanita Muslim Cina) memanggil ketuanya, wajahnya mirip Maher Zain!
Saya malu, dengan penampilan seragam ’as kungyan’, sendal jepit, kaos oblong, dan celana jeans. Tidak ada intsing bakal ketemu narasumber. Mau lari saja rasanya, tapi wajah tampan dan ramah itu malah memulai komunikasi lebih dulu. Postur tubuh saya hanya sedada dia. Kebayang ‘kan ? Udah kecil, culun lagi!
“May I help you sister, don’t be shy… as Muslim we are brother right? (Ada yang bisa saya bantu dik, jangan malu.. sebagai Muslim bukanlah kita saudara?” ujarnya, ramah sekali!
Akhirnya saya beranikan, menyusun pertanyaan untuk laporan stand buku Islam, ikut berpartisipasi dalam HK Book Fair 2011. Dia menjawab pertanyaan itu dengan sabar, bahkan nunduk, karena kasihan mungkin lihat saya ’cangkeul’ (pegel) pegang HP saat merekam wawancara.
Kesimpulannya, yang dia katakana itu betul. Sebagai Muslim, kita adalah saudara. Lebih dari itu, dengan bekal Kartu Pers, saya bisa punya banyak pengalaman. Ternyata jadi reporter itu dihargai orang, pastinya orang yang tahu bahwa informasi itu milik publik, hak setiap orang.
Masih banyak lagi kejadian lainnya. Semoga bisa jadi hal kecil yang memberi pengaruh besar dalam hidup saya kelak. Amin….!
Tulisan ini saya dedikasikan untuk ibu dan bapak saya terkasih. Semoga tidak menyesal telah membesarkan saya dan kita bisa segera berkumpul dengan situasi yang lebih berkah.
Untuk Ustadz Ghofur dan staf DDHK yang secara tidak langsung menginspirasi arah hidup saya ke jalan yang lebih baik. Untuk Mbak Umi Amaniah dan Mbak Yuni Sandriya yang sudah menjadi senior yang baik buat saya meski jarang bertemu.
Untuk kawan sejawat, Tati, Teh Rima, Mbak Lutfi, selamat berjuang, tetap ‘kayao’. Untuk semua kawan BMI lainya, silakan ikuti traning DD jika diadakan, karena pasti bermanfaat.
Untuk semua oraganisasi BMI yang kenal maupun tidak, tetap satukan tujuan dakwah, bukan dari seberapa banyak mengundang ustadz, tapi seberapa tulus hasrat dan niat kita berdakwah, bukan?
Terakhir dan paling dalam, saya dedikasikan tulisan ini beserta maaf dan jutaan rasa terima kasih untuk editor, guru, kakak, selaligus ’best friend’ saat saya ‘down’, Kang Romel. Hatur nuhun buat kesempatan dan bimbingannya. Semoga ini menjadi amal Kanda menuju pintu surga kelak. Amin…! ‘You’re nothing but everything for me’. (Anita Sri Rahayu/ddhongkong.org).*
No comments:
Post a Comment