Oleh Anita Sri Rahayu
Jika menunggu sampai ada kesempatan, maka nyaris enam tahun aku tidak akan pernah bisa sholat. Padahal, sholat adalah tiang agama. Bukan kebiasaan atau hobi yang boleh aku tinggalkan dan lakukan semaunya. Bukan ingin ceramah, tapi semoga ceritaku ini bisa jadi jendela pembuka, terutama bagi kawan seperjuangan yang kini berada di negara non-Muslim (BMI Hong Kong).
Aku bekerja sebagai buruh migran sektor rumah tangga. Tahun 2006 aku sudah berada Hong Kong (HK). HK itu surga kebebasan berada. Itu kata orang. Buatku tidak demikian, namun lebih terasa perjuangannya, terutama untuk beribadah. Jika di Indonesia sholat bisa aku lakukan dengan nyaman, bisa tepat waktu. Tapi di HK berbeda.
Semoga Allah Swt yang Mahatahu dan Maha Pengasih menerima sholatku yang tak sempurna.
Aku bekerja di rumah keluarga Tang. Mereka adalah umat Kristiani yang taat. Hanya ada bos perempuan (mom) dan bos laki-laki (sir), serta satu anak perempuan umur 5 tahun yang biasa aku panggil Heyan.
Kedua bosku bekerja di kantor. Mereka berangkat pagi dan pulang malam. Maka seluruh urusan rumah dan kegiatan anak mereka, aku yang bertanggungjawab. Dulu terasa berat, tapi sekarang aku anggap job ini sebagai latihan sebelum benar-benar jadi ibu rumah tangga kelak.
Hari demi hari berlalu terasa cepat, mungkin karena pekerjaan yang terlalu banyak. Sejak pagi, aku mengatar Heyan ke sekolah, lalu belanja, mengurus rumah, hingga jam 11 siang. Setelah itu aku harus sudah siap-siap pergi ke rumah nenek yang letaknya tak jauh dari sekolah Heyan. Kami biasa makan siang di sana. Kemudian mengatar les. Itu aku lakukan dari Senin hingga Sabtu. Minggu hari liburku.
Dengan segala kesibukan yang rasanya tak henti, meskipun bosku baik, tak pernah marah, tapi semua pekerjaan mereka percayakan padaku. Apa yang harus aku lakukan adalah memanfaatkan kepercayaan mereka itu. Bagaimana agar bisa profesional, artinya kerja tanpa pengawasan, tapi berdasarkan tanggung jawab. Dengan demikian, aku tidak akan mendapat komplain jika melakukan ibadah. Mereka tidak memberikan larangan untuk ibadah. Termasuk jika di rumah nenek.
Teringat akan pesan dari Ibu Mia, salah-satu aktivis BMI KOMI (Komunitas Migran Indonesia), majikan marah pasti ada sebab, yaitu kekurangan kita. Jika kita pandai, mereka pasti menghargai. Itu benar, aku rasa.
Ibu Mia juga berkata, sebagai pendatang kita bukan hanya harus pandai kerja, tapi juga mempelajari budaya atau kebiasaan mereka (orang HK). Misalnya, bagi mereka warna putih itu adalah lambang kesedihan (orang mati), sebaliknya bagi kita itu lambang kesucian. Di mana bumi kupijak, di situ langit kujunjung, itu kalau kata pribahasanya. Selagi tidak musyrik, kenapa tidak aku coba?
Hal ini berkaitan dengan warna mukena yang mayoritas putih. Aku khawatir jika nenek melihatnya akan takut. Akhirnya aku putuskan menggunakan warna cokelat muda, dari bahan tisu yang mudah kering jika dicuci dan tidak berat saat aku bawa keluar. Karena 80% tugas menjaga anak pasti berada di luar rumah.
Saat belum terbiasa, memang ada perasaan takut. Takut ketahuan si bos. Meskipun aku yakin mereka tidak akan marah. Tapi aku lebih takut pada Tuhan. Akhirnya, aku biasakan menutup pintu saat sholat. Kemudia suatu hari, bosku ingin mengambil baju ganti untuk Heyan, saat aku sedang sujud. Alhamdulillah, mereka tidak marah dan selalu melarang Heyan masuk kamar jika kututup pintu. Mereka tahu aku sedang sholat.
Namanya anak kecil, lebih hidup nalurinya ketimbang logikanya. Hari itu, pekerjaanku sudah selesai. Tapi Heyan belum tidur. Dia main dengan orang tuanya. Lalu aku masuk kamar untuk sholat Isya.Baru saja satu rakaat, Heyan masuk dengan mukanya yang lugu.
“Cece (kaka/Mba) ngo siong dung lei wan…( aku mau main sama kamu),” ujarnya, sambil menatap tegap kearah mukaku dan mulutku yang sedang komat-kamit membaca Al-Fatihah.
Aku lanjutkan rukuk, sujud… berusaha untuk khusyu’, tapi ekor mataku tetap bisa melihat Heyan yang mengikuti gerakan sholatku. Sambil sesekali menengokan kepalanya padaku.
Ya Robb… tak tahan menahan tawa. Akhirnya aku selesai sholat. Bersama Heyan di sampingku. Kami belum bertegus sapa, karena aku pejamkan mata dan berdo’a, mengucap syukur pada Tuhan yang Mahabaik padaku.
Saat aku buka mata, Heyan sudah tidak ada di sampingku lagi. Hanya suaranya saja aku dengar bercakap-cakap dengan ayahnya, bosku.
“Dausin lei hoi pina? (tadi kamu kemana),” tanya Mom pada Heyan.
“Ngo dausin dung cece co wantung… (Aku tadi sama cece olahraga),” jawab Heyan, lugu dan lucu. Sholatku dia anggap olahraga!
Sejak itu jika ingin sholat, aku harus bicara padanya bahwa aku ingin olah raga. Agar dia tak menggangguku lagi. (Anita Sri Rahayu/ddhongkong.org).*
No comments:
Post a Comment